BANDUNG, KOMPAS.com — PT Dirgantara Indonesia (Persero) menjadikan Afrika sasaran pasar ekspor produk-produknya sejalan dengan proyeksi kawasan benua hitam itu akan membutuhkan pesawat terbang baru dalam jumlah banyak sampai 20 tahun mendatang.
“Kami akan garap pasar Afrika, mengingat besarnya potensi pasar untuk produk-produk dirgantara sampai 20 tahun mendatang. Sekarang pun sebenarnya kami sudah dikenal di sana,” kata staf Divisi Komunikasi PTDI, IP Windu Nugroho, kepada wartawan di Bandung, Jumat (16/11/2012).
Ia mengatakan, kawasan Afrika merupakan pasar yang sangat terbuka bagi produk-produk PTDI, baik untuk bisnis pesawat itu sendiri maupun bisnis jasa perawatan pesawat serta bisnis terkait kedirgantaraan lainnya. “PTDI punya kompetensi dan kualitas bersaing pada bisnis itu,” katanya.
Windu menjelaskan, sejak 2007, sejumlah pesawat CN235 produk PTDI mulai masuk benua Afrika. Pada tahun itu, PTDI menyerahkan satu unit CN235 untuk Burkina Faso.
Saat ini, AU Burkina Faso telah mengoperasikan pesawat tersebut lebih dari lima tahun tanpa keluhan tentang kualitasnya.
Menyusul pembelian oleh Burkina Faso, pada November 2010 dan awal 2011, kembali PTDI menyerahkan masing-masing satu pesawat CN235 untuk Senegal sehingga ada dua CN235 di negara ini. Kini, sudah tiga unit CN-235 produk PTDI yang dioperasikan di Afrika.
Sejak berdiri pada 1976 hingga sekarang, PTDI telah memproduksi lebih dari 300 pesawat, baik sayap tetap (fixed wing) maupun helikopter (rotary wing). Untuk produk Pesawat NC-212 di bawah lisensi CASA (sekarang Airbus Military), PTDI telah diproduksi lebih dari 102 unit, baik versi sipil maupun militer.
PTDI juga telah memproduksi sebanyak 122 helikopter NBO-105 di bawah lisensi MBB (sekarang Eurocopter Jerman). Sebagian besar helikopter tersebut dioperasikan oleh militer Indonesia.
Selain itu, PTDI juga telah memproduksi helikopter NBell-412 lebih dari 33 unit, ditambah NBell-412 EP tujuh unit di bawah lisensi Bell Helicopter Textron (USA), serta helikopter Super Puma 22 unit di bawah lisensi Aerospatiale (sekarang Eurocopter Perancis).
Produk CN-235 dari hasil kerja sama dengan CASA Spanyol yang dimulai sejak 1979 telah menghasilkan kurang lebih 260 unit dan telah tersebar di berbagai negara di dunia. Terbang perdana CN-235 dilakukan pada Desember 1983 dan mulai masuk pasar pada 1986.
PTDI juga telah menyerahkan dua unit CN295 (pengembangan CN235) ke Kementerian Pertahanan beberapa bulan lalu dari total sembilan unit pemesanan. Pesawat CN295 ini merupakan pengembangan dari pesawat CN235 dengan menambahkan panjang badan pesawat sepanjang tiga meter.
Selain pesawat terbang, sejak 2002, PTDI mendapatkan pesanan komponen pesawat terbang, di antaranya komponen dari Airbus dan dari Boeing. Selain itu, PTDI sedang merancang bangun pesawat N 219, jenis pesawat untuk penerbangan antarkota yang mampu mendarat di lapangan yang tidak dipersiapkan.
N219 yang disiapkan untuk menggantikan Twin Otter, selain mampu lepas landas dan mendarat dari lapangan-lapangan terbang kurang dari 500 meter, pesawat ini juga dapat bermanuver di daerah yang bergunung-gunung seperti di Papua.
Menurut proyeksi majalah kedirgantaraan terkemuka dunia, Aviation Week, pada 2011, Afrika memerlukan sampai 770 pesawat berbagai tipe dan jenis, jet maupun turbopropeller seperti CN235.
Afrika sangat memerlukan pesawat-pesawat sekelas ini mengingat keterbatasan operasional bandara setempat.
Kebutuhan akan pesawat-pesawat turboprop diproyeksikan mencapai 130 unit untuk penggunaan di berbagai negara di benua tersebut.
Lebih terperinci, Aviation Week mengemukakan kebutuhan pesawat-pesawat jet baru berkapasitas 61-120 penumpang sebanyak 120 pesawat, sampai 20 tahun ke depan.
Selain itu, kapasitas 30-120 kursi dibutuhkan lebih dari 220 pesawat, baik untuk mengisi celah bisnis penerbangan baru maupun sebagai pengganti pesawat-pesawat tua yang sekarang.
Sumber :
ANT