Pemerintah segera menyelesaikan peraturan pengembangan mobil berbahan bakar campuran (hibrida) pada Juni mendatang. Regulasi yang akan diterbitkan salah satunya mengatur insentif fiskal untuk kendaraan pengguna energi listrik dan bahan bakar minyak ini. "Pekan ini saya dan Menteri Keuangan akan menyelesaikan masalah ini," kata
Menteri Perindustrian, Mohammad Sulaeman Hidayat, di gedung Dewan Perwakilan Rakyat kemarin.
Setelah peraturan ini selesai dirancang, Hidayat berencana membahasnya bersama pelaku industri otomotif nasional yang bersedia memproduksi jenis mobil ini. Insentif yang besarannya belum ditentukan ini, kata dia, akan diberikan setelah tes pasar selesai. Sebelumnya, salah satu pabrikan mobil nasional, PT Toyota Astra Motor, meminta waktu dua tahun untuk uji pasar. "Tapi kami minta setahun," ujarnya.
Sinyal pengembangan mobil hibrida muncul 8 Mei lalu saat Toyota Astra Motor membawa dua produknya ke Istana Negara. Dua mobil itu, Toyota Camry dan Prius Hibrida, dipamerkan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu Presiden memberi respons positif dan meminta pabrikan menjual mobil hemat bahan bakar ini dengan selisih harga yang tak jauh berbeda dengan mobil biasa.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pun mengatakan pemerintah akan memberi insentif pengembangan mobil ini, di antaranya keringanan bea masuk dan pajak pertambahan nilai barang mewah/PPnBM. Menurut dia, insentif ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menghemat bahan bakar minyak dan mengalihkan suplai energi ke sumber selain bahan bakar fosil. "Insentif ini membuka jalan tumbuhnya industri otomotif hibrida di Indonesia," ujarnya saat itu.
Mobil hibrida adalah jenis kendaraan yang menggunakan dua sumber energi, yakni bahan bakar minyak dan listrik. Namun rasio penggunaan bahan bakar minyak lebih kecil karena hanya dipakai sebagai pemantik mesin. Selebihnya, mesin digerakkan dengan energi listrik. Saat ini agen tunggal pemegang merek (ATPM) kendaraan di Indonesia masih mengimpor mobil hibrida dari beberapa negara produsen. Harganya cukup mahal, di atas Rp 500 juta. Salah satunya karena pemerintah mengenakan bea masuk 40 persen dan PPnBM sebesar 20-70 persen, baik untuk impor mobil utuh (CBU) maupun terpisah (CKD).