Borobudur adalah bangun ruang yang memiliki keserupaan dengan elemen dirinya sendiri.
Secara turun temurun
tradisi fraktal ini telah mengejawantah dalam desain dan bentuk bangunan
peninggalan sejarah seperti candi. Hal ini disimpulkan oleh kelompok
riset Bandung Fe Institute, yang selama beberapa tahun terakhir meneliti
fraktal dalam kebudayaan Indonesia.
Fraktal adalah bentuk
geometris yang memiliki elemen-elemen yang mirip dengan bentuknya secara
keseluruhan. Seringkali suatu fraktal memiliki pola tertentu yang
mengulang dengan bentuk rekursif dan iteratif.
Salah satu bangunan
monumental yang telah menerapkan konsep geometri fraktal, menurut mereka
adalah Candi Borobudur, yang ditetapkan sebagai salah satu World
Heritage Site (situs peninggalan sejarah dunia) oleh UNESCO.
"Pengukuran yang kami
lakukan pada setiap bagian Candi Borobudur, mengkonfirmasi hal ini
secara matematis," ujar Hokky Situngkir, peneliti dan President Bandung
Fe Institute, dalam sebuah rekaman Videocast yang ia unggah di situs
video YouTube.
Menurut Hokky, Borobudur
adalah bangun ruang yang memiliki keserupaan dengan elemen-elemen
dirinya sendiri. Di dalam Borobudur, misalnya, ada banyak bentuk
geometri stupa. "Candi borobudur sendiri adalah stupa raksasa yang di
dalamnya terdiri dari stupa-stupa lain yang lebih kecil. Terus hingga
ketidakberhinggaan," ia menjelaskan.
Selain itu, Hokky
menjelaskan, hal ini juga diverifikasi oleh pengukuran Parmono Atmadi
dari UGM, yang menemukan keteraturan bangunan Borobudur yang memenuhi
unsur perbandingan 9:6:4.
Rasio itu, misalnya hadir
pada perbandingan ukuran tinggi tiga bagian Candi, yakni bagian
Arupadhatu (dunia tanpa bentuk) - bagian stupa utama dan stupa-stupa
yang membentuk lingkaran, bagian Rupadhatu (dunia bentuk) - bagian yang
mencakup stupa-stupa yang berada di landasan berbentuk persegi, serta
bagian Kamadhatu (dunia nafsu) - bagian kaki.
Sumber: Wikipedia
Hokky juga mengatakan,
bahwa sebenarnya stupa sendiri merupakan bentuk ellipsoid 3 dimensi yang
memenuhi rasio 9:6:4. "Keteraturan ini kita jumpai di seluruh bagian
Borobudur, baik secara horizontal maupun vertikal," katanya.
Tak hanya itu, kata Hokky
, hasil observasinya terhadap Borobudur menyimpulkam bahwa
dimensionalitas Borobudur memenuhi dimensi fraktal antara 2 dan 3.
"Kalkulasi kita menemukan bahwa dimensionalitas bangunan candi Borobudur
ada di antara 2 dan 3," kata Hokky melalui surat elektroniknya.
Dengan pemodelan
komputasional cellular automata, ditemukan bahwa candi ini memenuhi
aturan 816 celullar automata 2 dimensi pada sistem ruang 3 dimensi. Ini
digunakan pada saat mereka nenek moyang kita saat membuat Borobudur
menumpuk blok batuan dengan pola penumpukan batuan 6,7, 9, 10.
Secara konvensional kita
mengenal konsep dimensi, yang merupakan 'bilangan bulat'. Dimensi 1
direpresentasikan dengan garis, dimensi 2 dengan bidang, dimensi 3
dengan ruang, dimensi 4 dengan ruang dan waktu, dan seterusnya.
Nah, Fraktal adalah
konsep geometri yang mengenal dimensi 'bilangan pecahan'. "Jadi Candi
Borobudur bukanlah bangun ruang 3 dimensi biasa dan tak tepat pula
dilihat sebagai bentuk-bentuk 2 dimensi. Candi Borobudur ada di antara
dimensi 2 dan 3!," ujar Hokky yang juga peneliti pada Surya Research
International.
<iframe width="640" height="360" src="http://www.youtube.com/embed/ckdlhPhf4xk?feature=player_embedded" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>
Video lihat disini
Sebelumnya, hipotesis tentang adanya sifat fraktal pada beberapa bangunan candi sudah mengemuka sejak beberapa tahun lalu. Hal yang sedikit membingungkan adalah, nenek moyang kita tidak mengenal ukuran metrik standar, namun mereka mampu membuat bangunan-bangunan yang demikian kompleks seperti Borobudur.
"Bagaimana mungkin sebuah
peradaban yang tak punya sistem metrik standar, pemahaman mekanika dan
statika modern, mampu mendirikan bangunan yang sedemikian kompleks
seperti Borobudur? Jawabannya adalah cara ber-geometri nenek moyang kita
mungkin adalah fraktal geometri!" kata Hokky.
Borobudur sendiri adalah
candi yang diperkirakan mulai dibangun sekitar 824 M oleh Raja Mataram
bernama Samaratungga dari wangsa Syailendra, yang menganut agama Budha
Mahayana.
Candi yang memiliki 2.672
panel relief, serta 504 patung Buddha, itu sempat terkubur oleh lapisan
vulkanik selama beberapa abad dan dikelilingi oleh rerimbunan hutan,
sebelum akhirnya ditemukan kembali pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles.