Pesawat Regio Prop menjadi nama idaman baru pesawat buatan domestik.
Adalah Ilham Habibie yang harus pontang-panting meneruskan impian ayahnya dalam memajukan industri penerbangan tanah air. Dia harus meyakinkan berbagai pihak bahwa pesawat itu akan bisa bersaing dengan pesatnya teknologi dewasa ini.
Namun, bos grup usaha Ilthabi Rekatama ini menolak kalau pesawat tersebut sebagai proyek lanjutan dari N-250 yang digagalkan oleh IMF pada 1998 lalu. Menurutnya, meski ada beberapa kesamaan, secara detail dan teknologi yang digunakan kedua jenis pesawat itu berbeda.
Karenanya, Ilham sedang sibuk bukan kepayang. “Iya hampir saja kerjaan saya di perusahan terbengkalai karena mengurusi pembuatan pesawat ini,” katanya kepada Ranap Simanjuntak saat di temui di kantornya, Senin (9/4/2013). Berikut nukilan wawancaranya:
Bisa diceritakan soal proyek kelanjutan pembuatan pesawat N-250?
Ini bukan melanjutkan. Tapi membuat baru karena tidak memakai bahan yang lama. Yang dilanjutkan itu semangatnya, bukan proyeknya. Jadi, ini bukan yang dulu dikembangkan, pernah berhenti kemudian dlanjutkan. Sama sekali berbeda!
Awalnya bagaimana?
Itu berawal dari keinginan membuat pesawat Indonesia yang dikembangkan sendiri. Jadi, pesawat yang sedang kita kembangkan adalah mengacu pengalaman bersama yang pernah dimiliki bersama melalui IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) yang sekarang bernama PT Dirgantara Indonesia (DI). Pesawat itu dikenal dengan sebutan N-250.
Sementara pesawat yang sedang dikembangkan saat ini adalah R-80 yang dari segi bentuk dan teknologi memang ada kemiripan. Tapi, terus terang lebih banyak ketidakmiripannya. Sebagai contoh, pesawat N-250 penumpangnya 68 orang, tapi kalau yang dikembangkan ini 80 penumpang. N-250 dulu menggunakan teknologi elektronik tahun 1998, dengan jedah waktu 15 tahun maka teknologinya tentu berbeda pula.
Dalam teknologi elektronik ini memang ada hubungan. Sekilas memang terlihat serupa tapi beda. Sama kalau melihat Airbus 320 dengan 737 terlihat sama. Tapi kalau melihat detailnya pasti berbeda.
Mengacu pada pengalaman sebagai keuntungan bersama. Sebab, tanpa pengalaman itulah yang menjadi satu keuntungan bersama karena kalau tidak ada pengalaman itu orang yang bisa mendesain pesawat seperti ini tidak ada di Indonesia. Kalau didatangkan dari luar maka biayanya bisa mahal sekali. Itulah kurang lebih posisi kami.
Jadi sekali lagi, ini pesawat tahun 2013, di mana pesawat N-250 itu secara politis dipaksakan berhenti melalui penandatanganan MoU dengan IMF. Memang sebagian besar yang bekerja di tim kami adalah punya pengalaman dengan N-250.
Teknologi apa yang baru?
Pesawat itu kan ada badan, sayap, engine, kokpit, kaki atau dinamakan landing gear, kemudian sistem yang menyambungkan pilot untuk bergerak. Nah R-80 ini lebih besar karena 80 penumpang. Artinya, maka lebih besar dan lebih berat maka sayapnya pun harus lebih besar juga karena sayap untuk membuat gaya angkat.
Nah untuk mengangkat itu perlu engine maka engine ini harus lebih kuat. 15 tahun perkebangan teknologi engine itu sudah banyak berubah. Jadi, badannya lebih panjang, sayapnya lebih gede, dan engine lebih kuat serta bukan engine yang dulu. Kemudian pula landing gear juga harus lebih kuat dan besar. Itu semua sudah beda.
Kemudian kokpit. Kalau tahun 98 dulu seingat saya untuk N-250 itu kayak televisi jaman dulu yang masih ukuran besar. Sekarang kan tidak lagi, sudah pakai flat skin semua. Lalu, sudah pakai computer chip untuk sistem pengendali.
Tapi teknologi yang benar-benar baru itu avionik dan fly control system.
Apa keunggulan pesawat ini?
Dulu, pada 1998 dengan saat ini harga minyak jauh lebih mahal. Nah keperluan airlines sekarang itu mempunyai pesawat terbang yang irit bahan bakar. Kalau dilihat airlines, khususnya untuk jarak pendek itu operating cost itu 50% adalah bahan bakar.
Nah pesawat ini diperuntukkan jarak pendek, yaitu di bawah penerbangan jarak di bawah 500 km. Sebab, dengan jarak penerbangan pendek itu kalau terbang dengan jet akan boros sekali. Apalagi, jet itu besar sehingga tak bisa landing di airport pada landasan yang pendek.
Akan melakukan kerja sama atau berpartner dengan siapa untuk pembuatannya?
Kita tidak tergantung akan itu. Tentu lebih baik kalau kita punya partner untuk memasarkan di luar. Sejauh ini kita sudah berbicara dengan beberapa pihak. Tapi, saya belum berani mengatakan pihaknya siapa saja. Kalau belum yakin maka saya mending tidak ngomong dulu.
Seandainya tidak ada partner saya kira dari segi kemampuan kita bisa. Tapi dari segi marketing mungkin memang akan lebih menekankan buat kita sendiri. Ya paling tidak untuk negara-negara sekitar Indonesia di ASEAN karena situasi dan kondisinya kurang lebih sama.
Terus terang tanggapan di masyarakat semuanya positif. Belum pernah saya ketemu orang yang tidak suka dengan ide membuat pesawat ini. Apalagi, untuk pesaing pasarnya yang baling-baling ini tidak banyak. Saat ini yang serius mengemas pesawat baling-baling paling hanya dua, yaitu dari Perancis-Italia dan Kanada.
Dan, yang benar-benar bersaing dengan kita karena spesifikasinya mirip itu ATF. Itu juga jenisnya mereka ada banyak.
Soal pemodalan?
Kita saat ini hanya membutuhkan modal sedikit yaitu sekitar US$ 4 juta yang digunakan untuk mendesain sampai akhir tahun ini. Dananya berasal kita mandiri secara bersama.
Tapi apakah tidak melakukan kerja sama pembiayaan lewat perbankan atau perusahaan lainnya?
Kalau ditanyakan soal itu bisa kepada Bapak Erry Firmansyah, mantan direktur utama PT Bursa Efek Indonesia. Dia yang lebih tahu soal skema mencari dana. Apakah nanti membuat perusahaan go public atau bagaimana bisa ditanyakan ke beliau.
Bagaimana dengan dukungan ayah Anda, B.J Habibie?
Ya ayah saya sangat mendukung. Beliau juga salah seorang tokoh teknologi yang membuat pesawat sekaligus sehingga membuat saya seperti ini. Dari beliaulah kemudian membuat beberapa langkah yang akhirnya mendapat dana dari Islamic Bank.
Dukungan dari PT DI sendiri seperti apa?
Ya sejauh ini baik. PT DI pernah mengatakan menyambut baik niat ini dan akan bergabung. Kita masih menjadi negara yang paling unggul untuk membuat pesawat dibandingkan negara-negara ASEAN.
Misalnya Kalau Malaysia itu hanya bisa membuat bagian-bagian pesawat atau sub kontraktor, sedangkan Indonesia bisa membuat pesawat utuh dan kita punya pabrik pembuatan pesawat di bawah PT DI. Contohnya ada banyak yaitu CN235, 2212, atau N-250. CN235 itu dalam bentuk Joint venture, 2212 itu pesawat untuk lisensi dan N-250. Apalagi, kita punya market khususnya dalam negeri, kemampuan kita lengkap.
Jadi kalau kita buat perusahaan ini bukan bersaing dengan PT DI, melainkan melakukan kerja sama. PT DI punya infrastruktur seperti hangar atau lainnya. Bentuk kerja sama mungkin PT DI tidak dalam bentuk dana tapi bisa digunakan dalam bentuk lainnya.
Saat ini sudah berapa persen pengerjaannya?
Ya masih baru. Paling kalau bisa saya katakan sekitar 10%. Tahap pertama pembuatan desain. Tapi ini sangat krusial karena kalau salah nanti akan repot semua.
Jadi finalnya kapan?
Ya targetnya pada 2018 atau makan waktu lima tahun. Kalau untuk pembuatan prototype itu mungkin pada tahun keempat atau tahun 2017.
Profil Ilham Habibie, Ilmuan yang Doyan Ikut Organisasi
Lelaki bernama lengkap Ilham Akbar Habibie yang lahir 16 Mei, 49 tahun silam di Aachen, Jerman ini merupakan putra sulung mantan Presiden RI BJ Habibie. Sekilas wajahnya mirip dengan ayah, hanya sedikit lebih tinggi.
Namun, Ilham merupakan sosok yang tak manja. Dia sedari kecil sudah mengerti arti pentingnya ilmu pengetahuan, sehingga selalu menempatkan kegiatan membaca. Karenanya maklum dia meraih beberapa gelar bergengsi seperi gelar Ph.D dengan summa cum laude dari Technical University of Munich, Jerman. Atau menyandang MBA dari Universitas Chicago, Singapore Campus.
Ayah tiga anak ini pernah menjabat jabatan strategis di PT DI mulai dari Asisten Presiden Director untuk proyek N2130 Regional Jet Program hingga menjabat Direktur Marketing. Sayangnya akibat, krisis moneter 1998, atas desakan IMF proyek pesawat N-250 harus dihentikan. Padahal, kala itu, Ilham lagi fokus melakukan riset untuk menambah jumlah portofolio pesawat terbang buatan anak bangsa.
Penyuka olah raga renang dan golf ini pun mengurusi perusahaan keluarga di bawah naungan Grup Ilthabi Rekatama sejak 2002. Dengan tangan dinginnya, perusahaan ini menggurita. Setidaknya, empat bidang bisnis seperti teknologi informasi, industri manufaktur, industri sumber daya alam, dan finansial jasa keuangan berhasil dia kembangkan. “Indonesia memiliki modal dasar penting, yakni kekayaan sumber daya alam,” ungkap salah seorang direktur di The Habibie Center ini.
Selain itu, dirinya aktif juga dalam organisasi baik masalah penddidikan sampai olahraga. Ilham tergabung dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia se-Indonesia (ICMI) dan pernah menjabat Kepala Presidium. Dia juga pengurus Perhimpunan Alumni Jerman, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesi (METI), Persatuan Insinyur Indonesia, The Habibie Foundation, KADIN, Yayasan Pembangunan Teknologi Indonesia dari Institut Teknologi Indonesia, Komite Inovasi Nasional, Wakil Bendahara Persatuan Bola Voli seluruh Indonesia.
Di sisi lain, Ilham juga menyabet beberapa gelar bergengsi. Pada 1997 dia mendapat penghargaan Satyalancana Wira Karya dan Adikarsa Pemuda. Kemudian, pada 2009 AFEO Honorary Fellow dari Federasi Organisasi Mesin ASEAN.
Lewat pembentukan PT Regio Aviasi Industri (RAI) bersama Erry Firmansyah, dirinya berhasrat menghidupkan kembali teknologi pesawat terbang Indonesia. Caranya, dengan membuat pesawat Regio Prop. “Perusahaan swasta ini dibuat karena melihat kemampuan pemerintah dalama pembuatan pesawat terbatas. Daripada merongrong pemerintah terus, lebih baik jalan sendiri,” ungkap salah satu politisi Partai Golkar ini.
sumber